Minggu, 08 Mei 2011

PELAJARAN DARI LARON

Tadi malam rombongan (atau gerombolan) laron bertamu ke rumah saya. Tak terhitung banyaknya. Dalam sekejap, lampu teras, ruang tamu, dan lampu ruang tengah menjadi lampu hias berornamen laron. Saya sempat mengabadikan momen tersebut.

Laron identik dengan musim hujan, seperti saat ini. Laron juga akrab dengan teriakan histeris anak-anak kecil, seperti masa kecil saya yang sangat akrab dengan laron. Jadwal keberangkatan ke sekolah akan tertunda manakala di pinggir jalan ada “markas-markas” laron yang menyemburkan binatang kecil itu ke udara. Plastik bekas, atau alat apapun yang bisa menjadi wadah penampungan, akan segera berisi penuh laron. Kaum tua pun seringkali tak ketinggalan. Di kandang, ayam peliharaan seakan telah mendapat firasat jika esok pagi ia akan mendapat menu sarapan lezat penuh protein: laron.




Perjalanan hidup laron amatlah singkat. Juga penuh bahaya. Keluar dari sarang, ia akan langsung berhadapan dengan musuh-musuhnya. Di darat, ayam dan kawan-kawannya, tak akan melewatkan sedikit pun menu lezat nan gratis itu. Lainnya, jelas tak kalah sigap: manusia. Pengalaman mengajarkan saya (kecil) untuk menempatkan seekor laron di depan sarang dalam posisi ditusuk lidi sehingga sayapnya bebas mengepak. Tanpa perlu menanyakan dalil ilmiahnya, konon laron itu berteriak-teriak meminta bantuan teman-temannya yang masih ada di dalam sarang. Sebagai mahkhluk sosial, laron-laron lainnya bergegas keluar. Dan…..hap! Lalu ditangkap! Hidupnya berpindah ke plastik bekas, dan akan berakhir di mulut ayam di rumah, atau berenang di sungai sebagai umpan ikan,

Kalaupun laron beruntung terbang, pemangsa lain telah mengintai. Burung-burung yang berpesta pora terbang rendah kian kemari laksana helikopter Apache dan MH-60L/K Black Hawk.

Esok hari, bila beruntung, dari lubang bekas sarang laron akan terlihat jamur putih menyerupai payung kecil. Jamur inipun akan segera berpindah ke meja makan menjadi santapan lezat yang kenyal dan gurih.



Nasib serupa dialami laron yang muncul malam hari. Keluar dari sarang, perjalanan laron menuju sumber cahaya tak sepi dari bahaya. Aneka predator siap memangsanya. Bila beruntung sampai ke tujuan, pemilik rumah akan segera menyiapkan ember atau sejenisnya berisi air tepat di bawah lampu, seperti yang tadi malam saya lakukan.

Sumber Inspirasi
Dengan perjalanan singkat hidupnya, ia dedikasikan hidupnya untuk makhluk lainnya. Burung, cecak, ikan, dan masih banyak lainnya, menikmati menu makan bergizi. Laron juga menjadi inspirasi. Wisnu Susilo, yang lahir di Magelang, 9 september 1962, merangkai nama binatang kecil itu dalam bukunya: Kisah Perjalanan Laron-laron.

Tulisan sederhana ini pun terpicu darinya.

Sang Maha Pandai pencipta laron tentu tak menciptakan mahkhlukNya, sekecil apapun, tanpa maksud dan tujuan. Dan bisakah kita, yang masih diberi kesempatan menghirup oksigen gratisNya, belajar dari laron?

Dadang Kadarusman menuliskannya dalam Perjalanan Menuju Kesejatian.

Adakah para laron itu ingin menyampaikan sebuah pesan? Kelihatannya memang demikian. Melalui apa yang dilakukannya, para laron mengingatkan kita betapa pentingnya menghadapkan diri kearah sumber cahaya. Karena, menuju cahaya adalah sebuah fitrah bagi setiap manusia.

Didalam diri kita, ada sisi gelap. Dan ada pula sisi terang. Jika kita tidak pernah menambahkan cahaya kedalamnya, maka sisi gelap kita akan menjadi semakin banyak. Sedangkan, sisi terang akan semakin berkurang. Untuk menjadi gelap; kita tinggal berdiam diri saja. Karena cepat atau lambat dunia kita pasti menjadi gelap. Sedangkan untuk mendapat terang, kita harus melakukan usaha-usaha yang sepadan. Karena menanti dengan berdiam diri tidak memberikan jaminan datangnya cahaya terang.

Baagi sang laron, menuju sumber cahaya adalah langkah paling akhir misi hidupnya. Sedangkan bagi manusia, seberkas cahaya didalam dirinya menyala melalui setiap perilakunya yang terpuji. Seperti ketika mereka menghitung langkah satu, dua, tiga, dan empat; semuanya berjalan membentuk sebuah untaian proses pencerahan jiwa. Kemudian, tepat pada hitungannya yang kelima; mereka melakukan langkah terakhir dalam hidupnya untuk menuju sang pemilik cahaya sesungguhnya. Ditempat itulah kemudian mereka, berkumpul dengan para pencari cahaya lainnya. Duduk bersimpuh disebuah lapangan luas, untuk mendekatkan diri kepada sang pemilik cahaya sejati.

Setelah sampai disumber cahaya itu, tunailah sudah misi hidup seekor laron. Dan setelah tiba disumber cahaya sejati itu; tunailah sudah perjalanan panjang seorang manusia. Karena, ketika itu; kita bisa menjelma menjadi manusia yang tercerahkan oleh cahaya kesejatian. Seseorang yang berhasil melakukan perjalanan itu sesuai dengan panggilan sang pemilik cahaya akan memasuki babak baru dalam siklus hidupnya, yaitu; menjadi manusia sejati. Manusia yang memiliki kematangannya secara spiritualitas, maupun fungsi sosial kemasyarakatan. Sedangkan, mereka yang hanya matang secara spiritual, tetapi tidak berfungsi secara sosial belum benar-benar mencapai kesejatian itu. Sebaliknya, mereka yang secara fungsi sosial matang tetapi melupakan kematangan spiritual adalah orang-orang yang hanya bagus dimata sesama manusia. Namun, dihadapan Tuhannya; nilainya layak dipertanyakan.

Bagi seekor laron, menuju cahaya adalah sebuah perjalanan sekali seumur hidup. Oleh karena itu, seekor laron; mengerahkan semua yang ada dialam dirinya untuk perjalanan suci itu. Dan ketika cahaya telah memenuhi dirinya; dia menanggalkan sayap-sayapnya. Perlambang apakah ini bagi kita? Sang laron tengah mengajari kita bahwa jika sudah sampai kepada sumber cahaya, maka kita harus meneguhkan hati untuk menutup segala kemungkinan yang bisa memabawa kita kembali menuju kegelapan.

Jika sayap itu masih dipeliharanya; maka cepat atau lambat, dia akan tergoda untuk terbang menuju gelap. Dengan menanggalkannya, sang laron menutup semua kemungkinan itu, supaya dia bisa memberikan totalitas dirinya didalam terang itu. Meski untuk mendapatkannya, dia harus mengorbankan sepasang sayap yang dimilikinya. Manusia tengah diseru oleh sang laron, untuk juga melakukan pengorbanan yang sama. Yaitu pengorbanan untuk membuang nafsu-nafsu yang sering menyeretnya kepada sifat buruk. Dan menanggalkan sifat-sifat tak patut didalam dirinya. Sehingga, ketika kita kembali pulang; kita benar-benar hanya membawa cahaya putih lagi bersih. Sebersih jiwa seorang bayi yang baru saja dilahirkan.

Ya, Sang Maha Pemilik Dunia ini menanyakannya pada kita dalam Al Qur’an Surat Ar Rahman (55) sebanyak 31 kali: Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?

Pada blog yang bernama persis: http://laronlaron.wordpress.com/, ditulis di bawah judul Hikmah Perjalanan dari Kisah Laron-laron Terbang:

Perilaku laron-laron yang senantiasa mendekati cahaya lampu dan rela mati di dalam kungkungan sinar lampu, seolah sedang bertanya kepada umat manusia dengan mengumandangkan firman Allah SWT dalam surah Al ‘Ankabuut ayat 2 dan 3:
“Apakah manusia mengira mereka akan dibiarkan sekadar mengucapkan ‘kami telah beriman’ tanpa diuji lebih dulu? Sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka sehingga Allah mengetahui mana di antara mereka yang betul-betul beriman dan mana pula yang cuma pendusta belaka.”
Sebab mereka yakin akan janji Allah bahwa mati dalam meniti jalan menuju kepada-Nya adalah kehidupan kekal yang tiada bandingan.
“Janganlah kalian mengira bahwa mereka yang gugur di jalan Allah itu mati. Bahkan sebaliknya. Mereka itu hidup, di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki berlimpah.” (Q.S. Ali ‘Imran: 169).

Sedangkan di forum Yahoo Answers, sebuah jawaban dinobatkan sebagai jawaban terbaik atas pertanyaan: Kenapa Hidup Laron Cuma 1 Malam? Begini jawabannya:

Saya rasa masing-masing mahkluk memang memiliki takdirnya sendiri-sendiri, sesuai ketentuan Allah. Sesungguhnya tanda-tanda alam seperti itu mengajak kita untuk berpikir, laron yang hidupnya 1 malam aja bisa memberikan manfaat bagi kita yaitu memberikan keindahan dengan kelap-kelip cahayanya, bahkan dulu di kampung-kampung ketika listrik belum ada laron ini ditangkap dimasukkan dalam plastik & jadilah 'lampu ajaib' menerangi kegelapan malam. Kita manusia yang hidupnya bisa berpuluh-puluh tahun kadang-kadang tidak tau & masih terombang-ambing dengan tujuan hidup kita. Hidup berpuluh-puluh tahun kalo tidak memberikan manfaat bagi orang lain apa gunanya. Mending jadi laron aja deh.

Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?


Dzakiron
Pemimpin Redaksi

Artikel Terkait



1 komentar:

Berlangganan Artikel via Email

Silahkan masukkan email Anda:

Delivered by FeedBurner