Sabtu, 06 Agustus 2011

Ramadan, Pesantren, dan Sinetron

RAMADAN menjadi inspirasi setiap orang dalam mewarnai segala bidang dan kesempatan. Tak terkecuali media televisi yang memanfaatkan momen ini dengan banyak menyajikan tayangan bernuansa religi, baik iklan, acara kuis, permainan, maupun sinetron. Dibalut dengan busana muslim dan kesahajaan seorang muslimah membuat tampilan layar kaca menjadi lain. Duduk di depan televisi menonton sinetron religi, sepertinya akan menjadi suatu kegiatan yang tak hanya ditonton istri-istri pada bulan Puasa ini.

Hampir berapa persen waktu dalam sehari, sinetron dapat dihitung lebih memiliki rating terbesar untuk ditonton. Contohnya saja sinetron ”Dari Sujud ke Sujud”, yang mulanya sebuah cerita dalam film ”Ketika Cinta Bertasbih” karya Habiburrahman El-Shirazy, kemudian disambung ke dunia sinetron. Cerita sinetron ini pun merupakan to be continuedari sinetron ”Ketika Cinta Bertasbih”.

Rentetan tema religi di dunia sinetron pun mulai menjadi-jadi. Ada apakah dengan Ramadan, pesantren, dan sinetron? Memperhatikan sinetron-sinetron religi ini hakikatnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa setiap segala sesuatu yang kita lihat dan dengar pasti memiliki pengaruh, apalagi segala hal yang disuguhkan media televisi pada bulan Puasa ini. Disadari ataupun tidak, bentuk program apapun dalam televisi menjadi sumber informasi utama dan dapat menjadi life style. Bahkan, dunia pesantren yang terpotret dan terekam media pada bulan ini akan menambah rating sinetron.

Menganalisis hal ini, penulis tertarik penafsiran bahwa pengarang cerita sebuah sinetron atau film memanfaatkan media untuk menyampaikan nilai-nilai Islam secara lebih holistik. Realisasinya, sinetron yang biasanya menceritakan kehidupan penuh hedonisme, kini populer mengangkat nilai-nilai pesantren. Budaya pesantren seperti mengaji Alquran, tinggal bersama dalam satu atap pondok, sifat kesederhanaan dan menghormati kiai adalah hal yang berbeda untuk disuguhkan di zaman sekarang ini.

Meskipun dengan banyak gaya lebay, sine-tron pada bulan Ramadan dengan mengambil latar pesantren ini menambah daya tarik tersendiri bagi masyarakat dan para juvi (”jurig” televisi; hantu televisi). Jadi, bisa dianggap salah satu jalan dakwah bil fi’li yang dilakukan penulis cerita sinetron atau film untuk menyampaikan pesan moral dan keislaman.

Bangun Keimanan

Lain halnya jika kita lihat dari kacamata proyektor, sinetron striping dengan tema religi menjadi wahana persaingan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tema religi dengan background pesantren di bulan Ramadan menjadi tema yang tepat dan populer. Bagaimana caranya setiap produksi perfilman menampilkan sinetron religi terbaiknya, meskipun ada banyak sinetron religi lain berjalan bersama-sama.

Jika hal yang terjadi adalah hal yang semata-semata demi uang, maka sungguh sayang nilai-nilai pesantren yang ada dalam sebuah sinetron hanya sepintas. Label sinetron pada umumnya, seperti tema kekerasan, marah, dengki, dan air mata, tetap ada terkisah dalam sinetron religi tersebut. Nilai-nilai pesantren bisa saja menjadi suatu hal yang kabur dari kenyataan aslinya.

Menyikapi hal tersebut, masyarakat dan para penonton khususnya agar dapat memberdayakan dari apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan dari efek adanya televisi. Bukan diberdayakan oleh televisi, hingga ibadah pada bulan Puasa tersendat. Berpikirlah dan sikapi dengan positif, sekalipun film atau sinetron hanya cerita belaka. Peran orang tua dan orang-orang terdekatlah yang akan menjadi tameng dan saling mengingatkan terhadap semua sifat dan sikap yang tercela.

Kemudian tidak kalah penting, televisi atau media massa memiliki peranan utama karena sangat berhubungan erat dengan kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di samping acara televisi memang dikemas agar tidak membosankan penonton, yang lebih penting adalah substansi untuk menjadi pelajaran.

Semoga dan menjadi harapan besar dalam bulan yang penuh dengan rahmat ini setiap elemen kehidupan kita dipenuhi dengan hal positif untuk membangun keimanan yang lebih kuat, menjadi pemeluk agama yang taat dan patuh terhadap perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, seimbang antara hablum minannas dan hablum minallah; hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah. (10)

— Anisah Budiwati SHI, santri mahasiswa Ponpes Daarun Najaah Jrakah Tugu Semarang, alumnus Ponpes Darul Arqam Jawa Barat


Sumber: Suara Merdeka

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Artikel via Email

Silahkan masukkan email Anda:

Delivered by FeedBurner