Oleh Doni Riadi
MENYONTEK massal dalam ujian nasional (UN) di Sekolah Dasar Negeri 2 Gadel Surabaya adalah fakta empirik bahwa bangsa ini sedang sakit. Sakit, karena Ny Siami, whistle blower kasus mencontek yang dikoordinasi pihak sekolah itu harus terusir oleh warga kampungnya, Tandes, yang tak lain sesama wali murid dan tetangganya. Wanita itu, beserta Widodo, suami, dan anggota keluarga lainnya, mengungsi ke rumah neneknya di Gresik, Jatim. Wanita itu awalnya mengungkapkan ke publik bahwa anaknya, Alifah Ahmad Maulana (Aam) diminta oleh pihak sekolah ”membantu” teman sekelasnya mengerjakan soal. Anak yang selama ini dikenal cerdas itu kemudian ”memandu” teman-temannya menggarap soal ujian dan hasilnya baik.
Tapi warga menganggap Siami mencemarkan nama baik desa dan sekolah. Atas hal itu, Siami yang awalnya harus diselamatkan ke kantor polisi untuk menghindari amuk massa, berdalih hanya ingin mengajarkan kejujuran pada anaknya. Demi meredam emosi massa, Dinas Pendidikan dan DPRD bersepakat tidak mempermasalahkan keabsahan ujian karena kasus itu.
Meyontek massal dianggap tidak ada, yang digunakan tetap nilai seperti biasanya. Tapi makin pelik, ketika tiga guru yang dianggap bertanggung jawab karena menyuruh Aam memberi contekan saat ujian, diancam dihukum penurunan pangkat satu level. Tapi Mendiknas M Nuh menegaskan tidak ada nyontek massal, dan kementeriannya tidak akan menggelar ujian ulang (SM, 16/06/11).
Terlepas dari kebijakan Mendiknas, kasus Gadel bukanlah yang pertama. Tahun lalu, juga pada masa UN, sebuah SLTA harus mengulang ujian karena lembar jawabannya dianggap sama semua. Sama-sama menyontek massal, bedanya dilakukan lewat SMS. Keduanya adalah fenomena gunung es dari runtuhnya sekolah sebagai institusi mulia karena UN. Kasus kecurangan lainnya ditengarai lebih banyak hanya belum atau tidak terungkap. Dalam bahasa Hermawan Sulistyo, karena malaikat belum membuka aib buruknya.
Kasus Gadel membuat nurani kita benar-benar terusik. Bagaimana mungkin orang yang berusaha mempertahankan kejujuran justru teralienasi dan diposisikan sebagai orang salah. Bagaimana pula kerumunan massa bisa mengendalikan timbangan keadilan, dan bagaimana kecurangan demi kecurangan selalu muncul disetiap musim UN.
Mengawal Kejujuran
Kecurangan guru adalah satu hal, menghukumnya sah-sah saja. Tapi kecurangan guru tidak berdiri sendiri. Kecurangan guru disebabkan kecurangan besar lainnya, yaitu UN itu sendiri. Meski MA memutuskan penyelenggaraan UN harus ditinjau ulang hingga sampai semua sarana dan infrastruktur di seluruh pelosok siap, atau dengan bahasa sederhana Indonesia saat ini belum siap menyelenggarakan UN, tapi pemerintah masih saja menggelar ujian itu.
Mahkamah Agung telah menolak kasasi pemerintah. Perkara dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009 itu telah memenangi gugatan warga negara erhadap UN. Penolakan kasasi berarti menguatkan putusan PT DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah.
Aam, Siami sekeluarga, guru SD Gadel, dan wali murid yang marah, hanyalah korban dari pembangkangan pemerintah terhadap hukum dengan tetap menyelenggarakan UN. Padahal fokus guru di jenjang pendidikan dasar adalah menyiapkan dan menemukan potensi diri anak didik sedini mungkin . Potensi inilah yang akan menjadi modal utama untuk survive di kehidupannya kelak. Karena itu, penting bagi guru untuk mengantarkan murid menuju jenjang berikutnya dengan meninggalkan kenangan manis berupa pengalaman belajar yang menyenangkan.
Kasus Gadel sebenarnya representasi dari kondisi sekolah di Indonesia. Jika kita mau jujur, barangkali kita terbelalak menghitung jumlah sekolah yang secara diam-diam melakukan kecurangan, karena teramat banyaknya. Guru yang dihukum karena mengajari curang bisa dimaklumi.
Guru yang kesatria mengakui kesalahan dan ikhlas menerima hukuman juga patut diacungi jempo, karena masih dalam koridor pendidikan, hal positif yang masih bisa dicontoh. Orang tua yang mengajarkan kejujuran pada anaknya, adalah sebuah kesemestian. Tapi, pengusiran warga kepada orang tua yang mendidik anaknya jujur adalah sebuah anomali.
Barangkali warga Gadel tidak menyadari bahwa mereka melakukan dua kekeliruan sekaligus. Pertama; penyerangan terhadap nilai kejujuran. Ketakutan berlebihan yang dibungkus dengan tuduhan pencemaran nama baik itu terlalu berlebihan. Seharusnya, wali murid berada di gerbong Siami yang mengawal agar kejujuran ditegakkan. Kedua; pelanggaran HAM karena mengusir seseorang dari rumah pribadi dan kampungnya tanpa dasar yang jelas. (10)
— Doni Riadi, pegiat Ikatan Guru Indonesia (IGI) Semarang
Sumber: Suara Merdeka Cybernews
MENYONTEK massal dalam ujian nasional (UN) di Sekolah Dasar Negeri 2 Gadel Surabaya adalah fakta empirik bahwa bangsa ini sedang sakit. Sakit, karena Ny Siami, whistle blower kasus mencontek yang dikoordinasi pihak sekolah itu harus terusir oleh warga kampungnya, Tandes, yang tak lain sesama wali murid dan tetangganya. Wanita itu, beserta Widodo, suami, dan anggota keluarga lainnya, mengungsi ke rumah neneknya di Gresik, Jatim. Wanita itu awalnya mengungkapkan ke publik bahwa anaknya, Alifah Ahmad Maulana (Aam) diminta oleh pihak sekolah ”membantu” teman sekelasnya mengerjakan soal. Anak yang selama ini dikenal cerdas itu kemudian ”memandu” teman-temannya menggarap soal ujian dan hasilnya baik.
Tapi warga menganggap Siami mencemarkan nama baik desa dan sekolah. Atas hal itu, Siami yang awalnya harus diselamatkan ke kantor polisi untuk menghindari amuk massa, berdalih hanya ingin mengajarkan kejujuran pada anaknya. Demi meredam emosi massa, Dinas Pendidikan dan DPRD bersepakat tidak mempermasalahkan keabsahan ujian karena kasus itu.
Meyontek massal dianggap tidak ada, yang digunakan tetap nilai seperti biasanya. Tapi makin pelik, ketika tiga guru yang dianggap bertanggung jawab karena menyuruh Aam memberi contekan saat ujian, diancam dihukum penurunan pangkat satu level. Tapi Mendiknas M Nuh menegaskan tidak ada nyontek massal, dan kementeriannya tidak akan menggelar ujian ulang (SM, 16/06/11).
Terlepas dari kebijakan Mendiknas, kasus Gadel bukanlah yang pertama. Tahun lalu, juga pada masa UN, sebuah SLTA harus mengulang ujian karena lembar jawabannya dianggap sama semua. Sama-sama menyontek massal, bedanya dilakukan lewat SMS. Keduanya adalah fenomena gunung es dari runtuhnya sekolah sebagai institusi mulia karena UN. Kasus kecurangan lainnya ditengarai lebih banyak hanya belum atau tidak terungkap. Dalam bahasa Hermawan Sulistyo, karena malaikat belum membuka aib buruknya.
Kasus Gadel membuat nurani kita benar-benar terusik. Bagaimana mungkin orang yang berusaha mempertahankan kejujuran justru teralienasi dan diposisikan sebagai orang salah. Bagaimana pula kerumunan massa bisa mengendalikan timbangan keadilan, dan bagaimana kecurangan demi kecurangan selalu muncul disetiap musim UN.
Mengawal Kejujuran
Kecurangan guru adalah satu hal, menghukumnya sah-sah saja. Tapi kecurangan guru tidak berdiri sendiri. Kecurangan guru disebabkan kecurangan besar lainnya, yaitu UN itu sendiri. Meski MA memutuskan penyelenggaraan UN harus ditinjau ulang hingga sampai semua sarana dan infrastruktur di seluruh pelosok siap, atau dengan bahasa sederhana Indonesia saat ini belum siap menyelenggarakan UN, tapi pemerintah masih saja menggelar ujian itu.
Mahkamah Agung telah menolak kasasi pemerintah. Perkara dengan nomor register 2596 K/PDT/2008 tertanggal 14 September 2009 itu telah memenangi gugatan warga negara erhadap UN. Penolakan kasasi berarti menguatkan putusan PT DKI Jakarta pada 6 Desember 2007 yang juga menolak permohonan pemerintah.
Aam, Siami sekeluarga, guru SD Gadel, dan wali murid yang marah, hanyalah korban dari pembangkangan pemerintah terhadap hukum dengan tetap menyelenggarakan UN. Padahal fokus guru di jenjang pendidikan dasar adalah menyiapkan dan menemukan potensi diri anak didik sedini mungkin . Potensi inilah yang akan menjadi modal utama untuk survive di kehidupannya kelak. Karena itu, penting bagi guru untuk mengantarkan murid menuju jenjang berikutnya dengan meninggalkan kenangan manis berupa pengalaman belajar yang menyenangkan.
Kasus Gadel sebenarnya representasi dari kondisi sekolah di Indonesia. Jika kita mau jujur, barangkali kita terbelalak menghitung jumlah sekolah yang secara diam-diam melakukan kecurangan, karena teramat banyaknya. Guru yang dihukum karena mengajari curang bisa dimaklumi.
Guru yang kesatria mengakui kesalahan dan ikhlas menerima hukuman juga patut diacungi jempo, karena masih dalam koridor pendidikan, hal positif yang masih bisa dicontoh. Orang tua yang mengajarkan kejujuran pada anaknya, adalah sebuah kesemestian. Tapi, pengusiran warga kepada orang tua yang mendidik anaknya jujur adalah sebuah anomali.
Barangkali warga Gadel tidak menyadari bahwa mereka melakukan dua kekeliruan sekaligus. Pertama; penyerangan terhadap nilai kejujuran. Ketakutan berlebihan yang dibungkus dengan tuduhan pencemaran nama baik itu terlalu berlebihan. Seharusnya, wali murid berada di gerbong Siami yang mengawal agar kejujuran ditegakkan. Kedua; pelanggaran HAM karena mengusir seseorang dari rumah pribadi dan kampungnya tanpa dasar yang jelas. (10)
— Doni Riadi, pegiat Ikatan Guru Indonesia (IGI) Semarang
Sumber: Suara Merdeka Cybernews
0 komentar:
Posting Komentar