Catatan Hari Kebangkitan Nasional 2011
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Dari kepemimpinan semacam itu, patutlah kita berharap lahirnya generasi-generasi baru Ali bin Abi Thalib, yang pada usia mudanya, bahkan sangat muda, telah berani mengambil resiko amat besar untuk bertaruh dengan kematian manakala beliau menggantikan posisi tidur Nabi Muhammad SAW yang pergi meninggalkan Mekah bersama Abu Bakar Assiddiq di malam nan gulita ketika kediaman Rasulullah telah dikepung oleh orang Kafir dengan senjata terhunus dengan misi tunggal: membunuh Rasulullah. Ali bin Abi Thalib muda pasti tahu bahwa peluangnya menjadi korban salah sasaran atau pelampiasan amarah orang-orang Kafir yang murka karena buruannya telah lepas nyaris 100%. Mengapa Ali muda berani mengambil resiko sebesar itu? Selain karena keberaniannya, penulis meyakini bahwa motivasi terbesar adalah karena ia meyakini akan kebenaran tindakan dari pemimpin, sahabat sekaligus gurunya, Nabi Muhammad SAW. Kelak, pada gilirannya Ali bin Abi Thalib memangku tugas sebagai pemimpin, kita tahu, sebagaimana sejarah Islam mencatatnya, bagaimana ia memimpin.
Nabi Muhammad SAW sendiri bukanlah pemimpin instan. Terlepas dari atribut istimewanya sebagai manusia yang maksum, terjaga dari perbuatan dosa serta jaminan masuk syurga, Beliau besar dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat jahiliyah yang penuh dengan kezaliman, kejahatan, dan pengkhalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Karier Beliau diawali dengan menggembala kambing pada usia 8 tahun ketika hidup bersama Pamannya, Abu Thalib, sepeninggal kakeknya, Abdul Muthalib. Pada usia 12 tahun, Muhammad muda mengikuti pamannya berdagang ke Syam. Konflik antarsuku yang kemudian memicu Perang Fijar pun tak luput dari perhatian Beliau.
Pada perang yang berlangsung selama empat tahun tersebut, pada saat Beliau berusia 16-20 tahun, Beliau ikut membantu kaumnya, Quraish, meski disebutkan bahwa di perang itu Beliau hanya bertugas mengumpulkan anak panah. Pada usia 20-an, Beliau aktif dalam Hilfil Fudzul, suatu gerakan untuk memberantas kesewenangan di masyarakat dan melindungi yang teraniaya. Dalam usia yang relatif masih muda, 25 tahun, Beliau menjadi manajer bagi tim ekspedisi bisnis pengusaha ternama Mekah, Siti Khadijah, yang kelak jatuh cinta kepada Muhammad muda dan menjadi pendamping hidup Beliau.
Setelah menikah, ujian kompetensi dan kualitas metode kepemimpinan Beliau diawali manakala warga Mekah merenovasi Kakbah yang retak. Proses lancar renovasi tersebut terhenti ketika Hajar Aswad telah siap ditempatkan karena semua kabilah ingin mendapatkan kehormatan itu. Keluarga Abdud-Dar dan Adi’ bahkan telah mengangkat sumpah darah untuk menyerang siapapun yang akan mengambil tugas itu. Usul Abu Umayah bin Mughira dari Bani Makhzum sebagai orang tertua yang dihormati agar tugas menempatkan Hajar Aswad diberikan kepada orang yang pertama kali masuk ke pintu Shafa, diterima oleh semua kabilah. Orang itu ternyata Muhammad Al-Amien.
Dengan otoritas sesaat yang dimiliki, Beliau berhak menempatkan Hajar Aswad, suatu kehormatan yang didambakan oleh semua kabilah. Tetapi, lihatlah yang kemudian terjadi. Secara bijaksana, Beliau melibatkan semua keluarga untuk meletakkan batu hitam itu. Caranya: Beliau membentangkan kain. Semua pemimpin keluarga dipersilakannya memegang pinggir kain. Beliau mengangkat batu itu ke atas kain lalu semua secara bersama-sama menggotong batu tersebut. Terakhir, Beliau mengangkat dan meletakkannya pada tempat yang semestinya. Semua puas. (Kisah Hidup Nabi Muhammad SAW dari www.pesantren.net pada CD Compilasi Pakdenono edisi Juni 2006)
Pendidikan: Kunci Utama
Menurut pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, fungsi pendidikan agama sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Penegasan pendidikan agama sebagai ruh pendidikan nasional itu terlihat lebih jelas dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sebagai penyempurnaan terhadap Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang ditandai dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah bersamaan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah pada tanggal 23 Mei 2006, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tentang Pelaksanaan Permen Nomor 22 Tahun 2006 dan Permen Nomor 23 Tahun 2006 pada tanggal 2 Juni 2006. Dalam Standar Isi Bab II Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, cakupan Mata Pelajaran Agama dan Akhlak Mulia disebutkan bahwa “Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama”(Depdiknas, 2006:4).
KTSP yang memberikan keleluasaan kepada setiap kelompok atau satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum tersebut juga menempatkan tujuan yang senada sebagai prinsip utama dalam pengembangannya, yaitu: kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab(BSNP, 2006:5).
Peran Strategis Guru
Guru di sekolah adalah orang tua sekaligus pemimpin bagi anak didiknya. Bagi sebagian (besar) anak didik, guru adalah idola, disamping tentu saja panutan alias teladan. Dengan fungsi dan peran yang sedemikian besar, amatlah wajar apabila banyak pihak yang berharap sedemikian tinggi terhadap guru. Pertanyaan yang kemudian amat layak untuk dikemukakan adalah sudahkah guru mengerti dan memahami fungsi dan peran strategis serta tanggung jawab besar yang diamanatkan di pundaknya? Sudahkah pemahaman itu diletakkan lebih dari sekadar susunan huruf-huruf pada redaksi kalimat tugas pokok dan fungsi (tupoksi)?
Sungguh, bila guru adalah sebuah pilihan hidup, sukarela atau terpaksa, segala konsekuensi logis dari profesi digugu lan ditiru itu semestinya kita terima. Karena, profesi itu melekat tak sebatas pada pakaian seragam harian sehingga jam kerja guru mungkin dibatasi oleh aturan jam dinas tetapi jam kerja profesi guru adalah dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu dan tiga puluh satu hari sebulan. Sehingga, berpakaian apapun seorang guru, di manapun berada, dan dalam situasi apapun, guru adalah guru. Sebaliknya, bila guru hanya mengemban profesinya pada saat mengenakan seragam kerja saja, dan selebihnya, perilaku dan tindak-tanduknya sama sekali tak mencerminkan figur yang patut digugu lan ditiru, ia sedang memproklamirkan kepada dunia bahwa ”harganya” tak lebih dari harga seragam yang dikenakannya: beberapa puluh ribu rupiah.
Akhirnya, mudah – mudahan firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat An – Nisa ayat 9 yang artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang – orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kuatirkan terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar“ dapat menjadi bahan perenungan berharga untuk kita semua. Amin.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2011. Bangkitlah guruku!!!
Referensi
Pemimpin Redaksi
(Dirangkum dari artikel ”Belajar dari Ali bin Abi Thalib” yang diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Pemuda Tingkat Nasional dan Penghargaan untuk Penulis Artikel Kepemudaan, yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena/FLP, Mei 2009)
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan
Dari kepemimpinan semacam itu, patutlah kita berharap lahirnya generasi-generasi baru Ali bin Abi Thalib, yang pada usia mudanya, bahkan sangat muda, telah berani mengambil resiko amat besar untuk bertaruh dengan kematian manakala beliau menggantikan posisi tidur Nabi Muhammad SAW yang pergi meninggalkan Mekah bersama Abu Bakar Assiddiq di malam nan gulita ketika kediaman Rasulullah telah dikepung oleh orang Kafir dengan senjata terhunus dengan misi tunggal: membunuh Rasulullah. Ali bin Abi Thalib muda pasti tahu bahwa peluangnya menjadi korban salah sasaran atau pelampiasan amarah orang-orang Kafir yang murka karena buruannya telah lepas nyaris 100%. Mengapa Ali muda berani mengambil resiko sebesar itu? Selain karena keberaniannya, penulis meyakini bahwa motivasi terbesar adalah karena ia meyakini akan kebenaran tindakan dari pemimpin, sahabat sekaligus gurunya, Nabi Muhammad SAW. Kelak, pada gilirannya Ali bin Abi Thalib memangku tugas sebagai pemimpin, kita tahu, sebagaimana sejarah Islam mencatatnya, bagaimana ia memimpin.
Nabi Muhammad SAW sendiri bukanlah pemimpin instan. Terlepas dari atribut istimewanya sebagai manusia yang maksum, terjaga dari perbuatan dosa serta jaminan masuk syurga, Beliau besar dan dibesarkan dalam lingkungan masyarakat jahiliyah yang penuh dengan kezaliman, kejahatan, dan pengkhalalan segala cara untuk mencapai tujuan. Karier Beliau diawali dengan menggembala kambing pada usia 8 tahun ketika hidup bersama Pamannya, Abu Thalib, sepeninggal kakeknya, Abdul Muthalib. Pada usia 12 tahun, Muhammad muda mengikuti pamannya berdagang ke Syam. Konflik antarsuku yang kemudian memicu Perang Fijar pun tak luput dari perhatian Beliau.
Pada perang yang berlangsung selama empat tahun tersebut, pada saat Beliau berusia 16-20 tahun, Beliau ikut membantu kaumnya, Quraish, meski disebutkan bahwa di perang itu Beliau hanya bertugas mengumpulkan anak panah. Pada usia 20-an, Beliau aktif dalam Hilfil Fudzul, suatu gerakan untuk memberantas kesewenangan di masyarakat dan melindungi yang teraniaya. Dalam usia yang relatif masih muda, 25 tahun, Beliau menjadi manajer bagi tim ekspedisi bisnis pengusaha ternama Mekah, Siti Khadijah, yang kelak jatuh cinta kepada Muhammad muda dan menjadi pendamping hidup Beliau.
Setelah menikah, ujian kompetensi dan kualitas metode kepemimpinan Beliau diawali manakala warga Mekah merenovasi Kakbah yang retak. Proses lancar renovasi tersebut terhenti ketika Hajar Aswad telah siap ditempatkan karena semua kabilah ingin mendapatkan kehormatan itu. Keluarga Abdud-Dar dan Adi’ bahkan telah mengangkat sumpah darah untuk menyerang siapapun yang akan mengambil tugas itu. Usul Abu Umayah bin Mughira dari Bani Makhzum sebagai orang tertua yang dihormati agar tugas menempatkan Hajar Aswad diberikan kepada orang yang pertama kali masuk ke pintu Shafa, diterima oleh semua kabilah. Orang itu ternyata Muhammad Al-Amien.
Dengan otoritas sesaat yang dimiliki, Beliau berhak menempatkan Hajar Aswad, suatu kehormatan yang didambakan oleh semua kabilah. Tetapi, lihatlah yang kemudian terjadi. Secara bijaksana, Beliau melibatkan semua keluarga untuk meletakkan batu hitam itu. Caranya: Beliau membentangkan kain. Semua pemimpin keluarga dipersilakannya memegang pinggir kain. Beliau mengangkat batu itu ke atas kain lalu semua secara bersama-sama menggotong batu tersebut. Terakhir, Beliau mengangkat dan meletakkannya pada tempat yang semestinya. Semua puas. (Kisah Hidup Nabi Muhammad SAW dari www.pesantren.net pada CD Compilasi Pakdenono edisi Juni 2006)
Pendidikan: Kunci Utama
Menurut pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, fungsi pendidikan agama sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
Penegasan pendidikan agama sebagai ruh pendidikan nasional itu terlihat lebih jelas dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan sebagai penyempurnaan terhadap Kurikulum Berbasis Kompetensi, yang ditandai dengan diberlakukannya Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah bersamaan dengan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tentang Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah pada tanggal 23 Mei 2006, serta Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tentang Pelaksanaan Permen Nomor 22 Tahun 2006 dan Permen Nomor 23 Tahun 2006 pada tanggal 2 Juni 2006. Dalam Standar Isi Bab II Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum, cakupan Mata Pelajaran Agama dan Akhlak Mulia disebutkan bahwa “Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama”(Depdiknas, 2006:4).
KTSP yang memberikan keleluasaan kepada setiap kelompok atau satuan pendidikan untuk mengembangkan kurikulum tersebut juga menempatkan tujuan yang senada sebagai prinsip utama dalam pengembangannya, yaitu: kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab(BSNP, 2006:5).
Peran Strategis Guru
Guru di sekolah adalah orang tua sekaligus pemimpin bagi anak didiknya. Bagi sebagian (besar) anak didik, guru adalah idola, disamping tentu saja panutan alias teladan. Dengan fungsi dan peran yang sedemikian besar, amatlah wajar apabila banyak pihak yang berharap sedemikian tinggi terhadap guru. Pertanyaan yang kemudian amat layak untuk dikemukakan adalah sudahkah guru mengerti dan memahami fungsi dan peran strategis serta tanggung jawab besar yang diamanatkan di pundaknya? Sudahkah pemahaman itu diletakkan lebih dari sekadar susunan huruf-huruf pada redaksi kalimat tugas pokok dan fungsi (tupoksi)?
Sungguh, bila guru adalah sebuah pilihan hidup, sukarela atau terpaksa, segala konsekuensi logis dari profesi digugu lan ditiru itu semestinya kita terima. Karena, profesi itu melekat tak sebatas pada pakaian seragam harian sehingga jam kerja guru mungkin dibatasi oleh aturan jam dinas tetapi jam kerja profesi guru adalah dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu dan tiga puluh satu hari sebulan. Sehingga, berpakaian apapun seorang guru, di manapun berada, dan dalam situasi apapun, guru adalah guru. Sebaliknya, bila guru hanya mengemban profesinya pada saat mengenakan seragam kerja saja, dan selebihnya, perilaku dan tindak-tanduknya sama sekali tak mencerminkan figur yang patut digugu lan ditiru, ia sedang memproklamirkan kepada dunia bahwa ”harganya” tak lebih dari harga seragam yang dikenakannya: beberapa puluh ribu rupiah.
Akhirnya, mudah – mudahan firman Allah SWT dalam Al-qur’an surat An – Nisa ayat 9 yang artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang – orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka kuatirkan terhadap kesejahteraan mereka. Oleh karena itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar“ dapat menjadi bahan perenungan berharga untuk kita semua. Amin.
Selamat Hari Kebangkitan Nasional 2011. Bangkitlah guruku!!!
Referensi
- Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan
- Departemen Pendidikan Nasional RI. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: CV. Eko Jaya
- Departemen Pendidikan Nasional RI. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22, 23, dan 24 Tahun 2006. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI
Pemimpin Redaksi
(Dirangkum dari artikel ”Belajar dari Ali bin Abi Thalib” yang diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Pemuda Tingkat Nasional dan Penghargaan untuk Penulis Artikel Kepemudaan, yang diselenggarakan oleh Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia bekerja sama dengan Forum Lingkar Pena/FLP, Mei 2009)
0 komentar:
Posting Komentar