Selasa, 13 September 2011

Lagu Menginspirasi Perubahan Nasib Guru

Pencipta ’’Hymne Guru’’ Belum Pernah Terima Royalti

SIAPA tak kenal lagu ’’Hymne Guru’’? Banyak yang sudah tahu, bahkan hafal menyanyikannya.

’’Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak guru, namamu akan selalu hidup dalam sanubariku, semua jasamu akan kuukir di dalam hatiku, bagai prasasti trima kasihku, tuk pengabdianmu, Engkau bagai pelita dalam kegelapan, Engkau bagaikan embun penyejuk dalam kehausan, Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.’’

Itulah syair lagu yang digubah Sartono, pria kelahiran Madiun, seorang seniman kampung yang kini tinggal bersama istrinya Ignasia Darmiyati, di Jl Halmahera Madiun, Jatim. Pria berusia 74 tahun itu, Jumat kemarin mendapat penghargaan FKIP UNS Award dari Dekan FKIP UNS Prof Dr M Furqon Hidayatullah MPd. Lagunya dinilai menjadi inspirasi penghargaan kepada pendidik, guru, yang patut diapresiasi.

Meski lagunya begitu terkenal dan sudah dinyanyikan sejak akhir tahun 1970-an, era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, ternyata tidak sekalipun dia memperoleh royalti atas lagu-lagunya. ’’Saya memang tidak pernah berharap apa pun, termasuk mendapatkan royalti atau apalah itu. Bagi saya, karya cipta saya dinyanyikan banyak orang, menjadi terkenal, itu sudah cukup,’’ katanya.

Sartono yang sudah mulai kehilangan memorinya, dibantu istrinya, menjawab pertanyaan, di sela-sela penganugerahan penghargaan yang dihadiri Rektor UNS Prof Ravik Karsidi.

Jual Jas

Dia bercerita, awalnya hanya karena membaca sebuah koran saat naik bus ke Madiun. Di dalam koran itu ada pengumuman lomba cipta lagu hymne guru. Sebagai seniman, dia tergelitik mengikuti. ’’Setiba di rumah, sambil rengeng-rengeng, bahkan sambil singsot (bersiul), dia menggubah nada dan menulis lagu itu. Kebetulan Bapak bisa menuliskan not angka, bahkan lengkap dengan not baloknya,’’ kata sang istri.

Namun, ketika akan membuat lirik lagu, inspirasinya mandek. Saat itulah Darmiyati yang baru pulang dari Madura, karena pindah tugas sebagai guru di Madiun, bercerita soal nasib temannya sesama guru.

’’Di luar dugaan, justru cerita saya itu menjadi inspirasi Bapak menulis lirik. Bahkan, tidak lama kemudian lirik lagu itu jadi, dan dicoba dinyanyikan. Akhirnya setelah merasa pas, lagu itu dikirimkan ke Panitia Lomba Cipta Lagu.’’

Sartono masih ingat, dia menjual jas untuk membeli prangko guna mengirim lagu ciptaannya ke Jakarta. Dia memilih langsung ke Jakarta, meski sebetulnya bisa saja dikumpulkan lewat Kantor Dinas P dan K di Madiun.

Di luar dugaan, lagunya menang dengan menyisihkan 200 peserta dari seluruh Indonesia. Seleksi dimulai dari 200 diambil 100, kemudian diseleksi lagi menjadi tinggal 50, susut lagi 25, susut lagi 10, kemudian dipilih lima, akhirnya tinggal tiga. ’’Satu lagu saya, dua lainnya kiriman dari Manado dan Bogor. Oleh panitia tidak dipilih juara I, namun peringkatnya lagu karya saya teratas. Jadilah saya pemenang lomba lagu Hymne Guru. Salah satu kelebihannya, karena ditulis dengan not balok dan not angka sekaligus,’’ tuturnya.

Lagu itu kali pertama dinyanyikan oleh tim Paduan Suara ITB, dan setelah itu menjadi lagu wajib yang dinyanyikan setiap siswa sekolah di Indonesia, sampai saat ini.

Apa hadiahnya? Sertifikat dan uang Rp 400.000 yang tahun itu sudah sangat banyak. Sebab, uang itu dibelikan sepeda motor baru harganya hanya Rp 360.000 dan sisanya untuk membelikan perhiasan istri.

Sayang, meski begitu tenar, dia tak sekalipun mendapatkan royalti. Baru setelah kisahnya ditayangkan sebuah televisi di Jakarta, ada perhatian dari berbagai pihak. Itu terjadi sekitar setahun lalu. ’’Akhirnya saya mendapat hadiah uang dari BRI sebanyak Rp 75 juta dan katanya dari Bank Indonesia Rp 60 juta, tapi sampai sekarang belum saya terima. Juga ada hadiah dari artis Syahrini, Ibu Titik Puspa, dan lainnya. Saya senang saja, meski tetap tidak berharap apa pun,’’ kata Sartono merendah.

Sumber: Suara Merdeka

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Artikel via Email

Silahkan masukkan email Anda:

Delivered by FeedBurner