Oleh: Dzakiron
Sekali-kali mari luangkan sedikit waktu untuk mengamati piring-piring yang baru selesai digunakan untuk makan. Baik dari orang-orang yang makan di warung makan, kantin sekolah, atau bahkan di rumah kita sendiri. Mungkin kita akan mendapati tidak semua piring-piring itu dalam keadaan kosong alias masih ada (atau bahkan banyak) nasi-nasi sisa di atasnya. Tidak selera makan, tidak enak, sudah kenyang, atau alasan-alasan lain barangkali akan kita dengar bila ditanyakan penyebabnya.
Terlepas dari benar tidaknya alasan tersebut, yang lebih mengetahui selera dan ukuran perut seseorang adalah orang itu sendiri. Artinya, habis atau tidaknya satu porsi nasi sebetulnya sudah dapat diperkirakan sebelum makan. Dan banyak sedikitnya pengambilan nasi dapat dise-suaikan, sehingga terhentinya proses makan pada saat nasi masih menggunung dikarenakan kenyang, misalnya, dapat dihindari. Atau kalaulah porsi nasi berbentuk paket (katering), nasi yang belum tersentuh dapat dipisahkan bila diperkirakan akan tidak habis. Itu mungkin lebih bijaksana daripada nasi dipisahkan setelah “diacak-acak”.
Bila nasi-nasi sisa itu dijadikan satu, berapa banyakkah yang terkumpul? Mari “berekreasi” sejenak dengan nasi-nasi sisa itu. Untuk lebih memudahkan penghi-tungan, nasi-nasi sisa itu kita anggap sebagai beras.
Katakanlah 1% dari 237.556.363 penduduk Indonesia pada tahun 2010 (Sensus Penduduk Indonesia Tahun 2010) yaitu 2.375.000 (kita bulatkan), bila makan sering disisakan. Dengan perkiraan 1 kg (1000 gram) beras disajikan menjadi 8 piring ukuran standar, 1 piring berarti 125 gram. Setiap kali makan, tersisa seperlima bagian, yaitu 25 gram.
Apabila satu hari makan tiga kali, maka dalam sehari jumlah beras sisa tadi adalah 3 x 25 x 2.375.000 = 178.125.000 gram atau 178.125 kilogram (kg). Dalam satu bulan (30 hari), beras sisa tadi berjumlah 30 x 178.125 = 5.343.750 kg.
Apa yang bisa dilakukan dengan beras sejumlah itu? Bila disalurkan ke daerah rawan pangan di wilayah-wilayah pengungsian atau korban bencana alam, sedikit banyak akan meringankan beban mereka. Atau kalaulah diuangkan, dengan harga 1 kg beras kita anggap Rp 6.000,00, maka kilogram tadi akan menjadi rupiah sebesar Rp 6.000,00 x 5.343.750 kg = Rp 32.062.500.000 (tiga puluh dua milyar enam puluh dua juta lima ratus ribu rupiah). Jumlah yang sangat kecil bila dibandingkan dengan tumpukan hutang Indonesia. Tapi yang jelas, lebih berarti daripada onggokan nasi-nasi sisa yang kemungkinan besar hanya akan menjadi makanan binatang ternak, dikeringkan, atau bahkan dibuang begitu saja.
Angka yang lebih besar akan kita dapatkan jika kita menghitungnya dalam satu tahun (12 bulan), yaitu 12 x Rp 32.062.500.000 = Rp 384.750.000.000 (tiga ratus delapan puluh empat milyar tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Bisa dibayangkan besarnya angka itu bila kita menghitungnya sejak beberapa puluh tahun lalu. Apalagi angka itu hanya disandarkan pada asumsi bahwa hanya 1% penduduk Indonesia yang menyisakan nasi setelah makan. Belum lagi bila kita menghitung juga nasi-nasi sisa pada acara-acara pesta, tasyakuran, prasmanan, dan sejenisnya, yang bisa dipastikan banyak nasi yang terbuang sisa-sia. Mungkin angka itu akan membengkak menjadi beberapa puluh atau bahkan beberapa ratus trilyun. Wah, asyik juga hitung-hitungan semu ini.
Tetapi akan tidak mudah mencari jawaban bila lalu diajukan pertanyaan-pertanyaan semisal “Bagaimana mengumpulkannya?” atau “Siapa yang mengumpulkannya?”, walaupun sebetulnya ada yang lebih penting dibandingkan sekedar mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu. Yaitu menghentikan kemubaziran itu. Menghentikan kebiasaan meninggalkan piring tempat makan kita tidak dalam keadaan kosong. Yang paling penting adalah kesadaran untuk mensyukuri nikmat Allah SWT. Adalah ironis apabila kita tetap saja mengeluh, atau bahkan menjerit, tatkala harga beras tak juga turun, tetapi pada saat yang bersamaan kita terus melestarikan kemubaziran itu.
Harga barang-barang kebutuhan sehari-hari seringkali melonjak naik sehingga kita harus bersusah payah menjangkaunya. Begitu juga beras, sebagai salah satu kebutuhan pokok kita, dalam waktu yang relatif singkat harganya telah menjulang tinggi. Ulasan dan pendapat para pakar ekonomi tentang faktor-faktor penyebabnya, sebagaimana yang bisa kita lihat di TV, terbaca di koran, dan diperdengarkan radio, mungkin benar.
Tetapi, kita pasti sama-sama mengetahui bahwa syukur nikmat adalah syarat mutlak bagi bertambahnya nikmat itu, sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ibrahim ayat 7, yang artinya: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu ingkar maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih.”
&&&&&
(Tulisan ini terinspirasi pada saat makan siang di sebuah warung makan di Terminal Kalibening Kabupaten Banjarnegara)
* Dimuat di majalah ANNIDA Jakarta, Nomor 19/X/6 Juli 2001; ditulis kembali dengan penyesuaian angka, tanpa merubah isi.
Selasa, 28 September 2010
NASI SISA & SYUKUR KITA*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar