Jumat, 18 Juni 2010

PELAYANAN PRIMA: ANTARA TUNTUTAN PROFESI DAN IBADAH

Oleh : Dzakiron
Guru Pendidikan Agama Islam


Pada suatu hari, sepulang dari kegiatan perkuliahan, istri saya, Guru TK, menceritakan tentang pembicaraan ibu-ibu penumpang bus umum, dari perjalanan Kajen-Paninggaran. Di sela-sela obrolan tentang beban hidup yang semakin berat akibat harga barang-barang kebutuhan sehari-hari yang kadang suka naik tapi malas turun, tercetus obrolan singkat tentang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Menurut ibu-ibu, yang asyik ngobrol sembari memangku barang dagangan atau belanjaan mereka, yang hidupnya sangat enak adalah PNS.

Kala harga barang-barang kebutuhan sehari-hari naik, gaji PNS ikut naik. Berbeda dengan mereka yang setiap hari mesti memikirkan tentang sirkulasi modal serta laku-tidaknya barang dagangan plus sengatan panas matahari dan siraman hujan, kerja PNS lebih menyenangkan karena tak terpengaruh mangsa ketiga (musim kemarau) atau mangsa rendheng (musim hujan). Mau hujan atau kemarau, gaji PNS tetap. Dalam obrolan spontan yang diiringi irama raungan mesin bis, yang merayap pelan di tanjakan jalan pegunungan, juga dibicarakan tentang (adanya) PNS yang menurut ibu-ibu tersebut, tidak bekerja sebagaimana mestinya: pulang-pergi ngantor seenaknya, berperilaku negatif, dan terkadang malah mempersulit pelayanan publik.

Saya tidak mendengar langsung obrolan tersebut tetapi saya bisa memaklumi kalau istri saya sempat merasakan telinganya panas mendengar korps kebanggaannya dikuliti habis-habisan. Saya hanya berkomentar singkat: kesimpulan mereka sangat dimungkinkan karena itulah yang mereka lihat, dengar, atau bahkan mereka alami.

Pelayanan Prima
Menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 mengenai pelayanan, pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pelayanan publik diselenggarakan dengan prinsip kesederhanaan; kepastian waktu; akurasi; keamanan; tanggung jawab; kelengkapan sarana dan prasarana; kemudahan akses; kedisiplinan, kesopanan, dan keramahan; serta kenyamanan.

Terkait dengan hal tersebut, dikenal istilah pelayanan prima. Menurut Drs. Sutopo, MPA dan Drs. Adi Suryanto, M.Si dalam buku Pelayanan Prima yang diterbitkan oleh Lembaga Adminstrasi Negara (LAN), pelayanan prima merupakan terjemahan dari istilah ”Excellent service” yang secara harfiah berarti pelayanan yang sangat baik dan atau pelayanan yang terbaik (Lembaga Adminstrasi Negara, 2006:5). Pelayanan pada masyarakat di masa datang, menurut Lembaga Adminstrasi Negara, hendaknya: makin lama makin baik (better), makin lama makin cepat (faster), makin lama makin diperbaharui (newer), makin lama makin murah (cheaper), dan makin lama makin sederhana (more simple).

Pentingnya peningkatan pelayanan publik dapat terlihat, antara lain, dari penegasan yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutan Pembukaan Rakernas APPSI di Istana Negara, Jakarta, 15 Februari 2008 silam, sebagaimana dikutip Majalah Layanan Publik edisi XXII Tahun IV 2008, yang diterbitkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara. Menurut Presiden, salah satu tugas utama aparatur negara adalah meningkatkan pelayanan publik. Dan hal itu merupakan prioritas yang harus dilaksanakan oleh pimpinan departemen, pimpinan daerah beserta seluruh jajarannya di seluruh pelosok tanah air. Lebih lanjut Presiden menegaskan, dalam setiap kesempatan hanya ingin dilapori tentang perkembangan ekonomi 4 hal saja. Yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, pengangguran, dan masalah kemiskinan. ”Hal itu cukup dituliskan dalam satu kertas. Gongnya pelayanan publik.” tambah SBY (halaman 9).

Dalam konsep penyelenggaraan negara, pelayanan publik, yang bermuara pada kepentingan umum, dirumuskan sebagai salah satu dari tujuh asas umum penyelenggaraan negara, sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan MPR RI No. XI Tahun 1998, yang ditindaklanjuti dan dijabarkan dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa asas-asas umum penyelenggaraan negara adalah Asas Kepastian Hukum, Asas Tertib Penyelenggaraan Negara, Asas Kepentingan Umum, Asas Keterbukaan, Asas Proporsionalitas, Asas Profesionalitas, dan Asas Akuntabilitas. Dijelaskan dalam undang-undang tersebut bahwa Asas Kepentingan Umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif (Lembaga Adminstrasi Negara, 2006:8).

Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan pemerintahan yang berdayaguna, berhasilguna, bersih dan bertanggung jawab, telah diterbitkan Instruksi Presiden No. 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP). Pelaksanaannya lebih lanjut didasarkan atas Pedoman Penyusunan Pelaporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah yang diterbitkan oleh Lembaga Administrasi Negara (Keputusan Kepala LAN No. 589/IX/6/4/1999 dan telah diubah dengan keputusan Kepala LAN No. 239/IX/6/8/2003).

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah adalah perwujudan kewajiban suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui alat pertanggungjawaban secara periodik (Lembaga Adminstrasi Negara, 2006:9).

Bekerja Sebagai Ibadah
Dari penjabaran di atas, terlihat dengan jelas makna penting dan strategisnya peran aparatur pemerintah, termasuk Pegawai Negeri Sipil sebagai bagian integral, dalam menjalankan tugasnya sebagai ujung tombak pelayanan publik. Sebagai unsur aparatur Negara dan abdi masyarakat, menurut Badan Kepegawaian Negara, Pegawai Negeri Sipil memiliki akhlak dan budi pekerti yang tidak tercela, yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan, serta bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Selain itu, setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, wajib memberikan pelayanan secara adil dan merata kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah (Moral Etika Pegawai Negeri Sipil dalam www.bkn.go.id).

Disinilah pentingnya moralitas sebagai landasan kerja PNS. Cara pandang dan pola pikir PNS terhadap diri dan pekerjaannya akan berpengaruh terhadap perilaku, kinerja, etos kerja, dan dedikasinya. Menurut Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Tengah dalam buku Pola Pikir (Mind Setting) Pegawai Negeri Sipil, pola pikir yang positif akan membentuk perilaku yang positif, demikian pula pola pikir negatif akan membentuk perilaku negatif. Salah satu implementasi perubahan pola pikir adalah merubah prinsip dari bekerja mencari uang menjadi bekerja untuk ibadah (Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Jawa Tengah, 2008: 39).

Dengan meyakini bahwa bekerja merupakan ibadah, seseorang akan terpicu dan terpacu untuk bekerja dengan sebaik-baiknya, sebagaimana ia melakukan ritual ibadah. Ini berarti, selain memperoleh gaji dan penghasilan sah lainnya sebagai konsekuensi logis, seseorang patut berharap untuk memperoleh pahala atas pekerjaan yang dilakukannya. Pesan moral inilah yang dapat dibaca dari Firman Allah SWT dalam Surat Al Jumu'ah ayat 10 yang artinya: “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.

Dorongan beribadah akan menjadi motivasi luar biasa yang akan mempertahankan stamina dan semangat kerja PNS sehingga ia akan senantiasa mengedepankan pelayanan prima dalam setiap gerak langkahnya, sesuai dengan porsinya masing-masing, bahkan setelah jam kerja usai. Ia adalah figur yang patut diteladani serta selalu mempermudah urusan, dan bukan sebaliknya. Secara otomatis, perilaku tersebut, tanpa perlu didoktrin dan ditatar dengan susah payah serta berbiaya mahal, telah memenuhi kode etik PNS, dimana Dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai Negeri Sipil (Kode Etik Pegawai Negeri Sipil dalam www.bkn.go.id)

Keyakinan bahwa bekerja adalah ibadah akan mendorong PNS untuk menyeimbangkan kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrowi (akhirat)nya, dimana ia percaya bahwa Tuhan yang Maha Melihat tak pernah tidur sedetik pun. Hal ini akan dapat menjaganya dari aneka perbuatan tercela serta mencegahnya untuk menyalahgunakan jabatan dan wewenang yang diamanatkan padanya. Keyakinan yang sama juga akan mendorong sesorang untuk menyelaraskan kesalehan individual dengan kesalehan sosialnya. Karena, baginya, ibadah bukan hanya salat, puasa, zakat, dan haji saja.

Kapanpun dia berada dan apapun yang dilakukannya, semua adalah upaya menuju Tuhannya. Senada dengan Ustad Arifin Ilham yang menyatakan bahwa setiap pribadi yang senantiasa berdzikir (mengingat Tuhan) akan membuatnya menjadikan bumi menjadi mesjid; rumah, kantor, bahkan hotel sekalipun menjadi musholla; tempat ia berpijak: meja kerja, kamar tidur, menjadi sajadah; sehingga seseorang bisa terhindar dari perbuatan munafik: bila berkata ia dusta, bila berjanji ia mengingkari, dan bila dipercaya ia mengkhianati. Pemahaman tersebut juga akan menjauhkan seseorang dari rutinitas ibadah belaka dengan standar ganda: rajin salat tetapi pada saat yang bersamaan juga rajin suap-menyuap, dan rajin mengaji tetapi rajin pula ia korupsi.

Penutup
Berbeda dengan lahir, tua, dan mati, yang hanya dapat kita terima dengan totalitas kepasrahan sebagai takdir Tuhan, menjadi baik atau buruk, menurut saya, adalah sebuah pilihan. Dengan kejernihan akal pikiran sebagai anugerah terbesar dari Tuhan, semestinya kita tak perlu berdebat panjang lebar, berargumen, ataupun berdalih untuk sekadar pembenaran, bahwa baik dan buruk adalah dua hal yang berbeda; sebagaimana Allah SWT tegaskan dalam Al Qur’an Surat Al-Maa'idah ayat 100 yang artinya: Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan."

Sungguh, pilihan untuk menjadi PNS baik atau sebaliknya, sepenuhnya ada di tangan kita karena diri kita masing-masinglah yang sejatinya akan bertanggung jawab atas segala yang kita perbuat di dunia ini di hadapan Sang Maha Hakim, kelak.

Paninggaran, Akhir Tahun 2009

&&&&&

Catatan: Artikel ini dikirimkan ke Buletin Pemkab Pekalongan “Gema Kota Santri” pada pertengahan Februari 2010

Artikel Terkait



0 komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Artikel via Email

Silahkan masukkan email Anda:

Delivered by FeedBurner